KOMPAS — Sebagian besar warga di Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, belum mau melepaskan tanahnya untuk jalan tol dengan harga yang ditawarkan panitia pembebasan lahan. Warga akan menempuh jalur hukum dengan melayangkan gugatan ke pengadilan.
Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Banda Aceh, Syahrul, pemegang kuasa warga penggugat, Senin (24/9/2018), mengatakan, jalur hukum menjadi jalan terakhir setelah beberapa kali musyawarah tidak mencapai titik temu. Ia berharap warga menang di pengadilan sehingga ada peluang menegosiasi ulang.
Pembangunan Jalan Tol Banda Aceh–Sigli dimulai dari Blang Bintang, Aceh Besar, hingga Padang Tiji, Pidie. Jalan tol itu bagian tol Sumatera, dari Banda Aceh hingga Sumatera Utara. Saat ini tahapannya masuk pada pembebasan lahan.
Syahrul mengatakan, saat ini sudah ada 40 warga yang menyerahkan surat kuasa dan dokumen pendukung untuk menyusun berkas gugatan. Sisa sekitar 40 orang lagi akan menyerahkan kuasa dalam beberapa hari ke depan.
”Batas pengajuan gugatan ke pengadilan pada 4 Oktober 2018, saat ini kami sedang menyiapkan berkas,” kata Syahrul.
Aspirasi diabaikan
Menurut Syahrul, warga harus menempuh jalur hukum karena aspirasi mereka tidak direspons panitia dan pemerintah daerah. Syahrul menyatakan, pemerintah membiarkan warga berjuang sendiri.
”Padahal, mereka adalah rakyat, pemerintah daerah seharusnya berjuang bersama rakyat,” kata Syahrul.
Warga tidak mau melepaskan lahannya karena menganggap harga yang ditawarkan panitia jauh di bawah harga jual beli yang berlaku. Sebagai contoh, pada 2010, warga menjual lahan untuk pembangunan SMK Penerbangan seharga Rp 72.000 per meter persegi.
Pada 2013 warga menjual lahan kepada Pemprov Aceh yang kemudian dihibahkan untuk TNI AU seharga Rp 130.000 per m2. Namun, panitia menilai lahan yang bersisian dengan lahan yang dibeli SMK Penerbangan dan Pemprov Aceh lebih rendah, yakni Rp 40.000-Rp 80.000
”Seharusnya pada tahun 2018 harga tanah semakin naik, bukan turun,” kata Syahrul.
Ganti rugi yang ditetapkan tim penilai bervariasi, Rp 30.000-Rp 265.000 per m2. Harga tergantung letak lahan dan tingkat produktivitas. Untuk penggarap lahan negara, kawasan hutan diberikan ganti rugi Rp 12.000 per m2.
Syahrul menambahkan, bukti jual beli lahan yang dilakukan warga akan dilampirkan sebagai bahan kajian bagi majelis hakim. Dengan harga yang ditawarkan panitia, warga tidak dapat membeli lahan dengan luas yang sama di tempat lain. Padahal, lahan itu sumber kehidupan mereka.
Jalan Tol Trans-Sumatera di Aceh direncanakan dibangun dalam empat tahapan. Tahap pertama dari Aceh Besar sampai Pidie (Banda Aceh-Sigli) sejauh 75 km, tahap kedua dari Pidie sampai Lhokseumawe 135 km, tahap ketiga dari Lhokseumawe sampai Langsa 135 km, dan terakhir dari Langsa hingga Binjai, Sumatera Utara, 110 km.
Pejabat pembuat komitmen Jalan Tol Sigli-Banda Aceh, Alfisyah, mengatakan, di Kecamatan Blang Bintang, dari 130 bidang tanah yang harus dibebaskan sebanyak 25 bidang atau warga telah setuju dengan harga yang ditawarkan panitia, sedangkan sisanya 105 bidang menolak.
Alfisyah mengatakan, langkah yang ditempuh warga dengan menggugat ke pengadilan sudah tepat. Pihaknya akan mengikuti apa pun keputusan pengadilan. ”Penilaian dilakukan dengan sangat hati-hati dan teliti jika warga belum sepakat masih ada jalur hukum yang bisa ditempuh,” kata Alfisyah.
Juru Bicara Pemprov Aceh Wiratmadinata mengatakan, pemerintah telah memfasilitasi penyelesaian polemik penentuan harga lahan antara warga dan panitia. Banyak warga yang setuju dengan harga dari panitia.
”Soal ganti rugi yang dianggap murah, kami kira itu subyektif karena perhitungan harga itu memiliki rumus dan teknik sendiri menurut perundang-undangan. Menurut Pemprov Aceh, harga sudah proporsional,” katanya.
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>
EmoticonEmoticon